Mitos, Kesalahpahaman, dan Fakta Mengenai Gangguan Jiwa

[et_pb_section fb_built=”1″ _builder_version=”3.22″][et_pb_row _builder_version=”3.25″ background_size=”initial” background_position=”top_left” background_repeat=”repeat”][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”3.25″ custom_padding=”|||” custom_padding__hover=”|||”][et_pb_post_title meta=”off” featured_image=”off” admin_label=”Judul” _builder_version=”4.4.3″ title_font=”|700|||||||”][/et_pb_post_title][et_pb_post_title title=”off” author=”off” comments=”off” featured_image=”off” admin_label=”Meta” _builder_version=”4.4.3″ meta_font=”|600|||||||”][/et_pb_post_title][et_pb_divider color=”#fe1c24″ divider_weight=”10px” _builder_version=”4.0.9″ width=”20%”][/et_pb_divider][et_pb_post_title title=”off” meta=”off” admin_label=”Featured Image” _builder_version=”4.0.9″][/et_pb_post_title][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row _builder_version=”4.0.9″][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”4.0.9″][et_pb_text _builder_version=”4.4.3″ background_size=”initial” background_position=”top_left” background_repeat=”repeat”]

Beberapa dekade terakhir, jumlah orang yang didiagnosis gangguan jiwa meningkat pesat. Variasinya mulai dari gangguan depresi, gangguan kecemasan, skizofrenia dan masih banyak lainnya. Organisasi kesehatan dunia (WHO) bahkan melaporkan bahwa 1 dari 4 orang berisiko mengidap penyakit/gangguan jiwa. Masyarakat rata–rata banyak menganggap bahwa orang yang mengidap gangguan jiwa atau gangguan mental emosional hanyalah orang “gila”. Faktanya, orang yang mengalami gangguan jiwa tidak semuanya dapat disebut “gila” secara medis. Secara medis mungkin yang disebut “gila” oleh masyarakat adalah orang-orang yang mengalami gangguan psikotik. Gangguan psikotik adalah keadaan dimana seseorang tidak dapat membedakan dunia nyata dan dunia khayalnya atau bila pikiran mengalami distorsi berat sehingga pengendalian diri menjadi terganggu. Lalu, apa saja mitos gangguan jiwa yang sering didapat di masyarakat?

1. Gangguan Jiwa Disebabkan Karena Kepribadian yang Lemah

Salah satu mitos gangguan jiwa yang paling sering dijumpai adalah penderita gangguan jiwa yang dianggap sebagai orang dengan kepribadian lemah yang tidak mampu menghadapi masalah. Realitanya, berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa penyakit jiwa dapat terjadi karena pengaruh kombinasi berbagai faktor, termasuk faktor biologi seperti misalnya aktivitas sel dan kimia alami dalam otak, faktor psikologi seperti trauma emosional, maupun faktor tekanan sosial, budaya dan spiritual. Orang pengidap gangguan jiwa tidak selalu lemah secara mental, sama seperti orang dengan penyakit fisik semacam diabetes atau tekanan darah tinggi misalnya, yang tidak selalu terlihat lemah secara fisik umumnya.

Salah satu contoh adalah Michael Phelps, seorang perenang peraih medali emas terbanyak dalam sejarah Olimpiade, merupakan salah 1 yang berjuang mengatasi gangguan depresi mayor berulang dalam hidupnya, dan pernah menyalahgunakan narkotika untuk mengobati sendiri depresinya sampai pernah ditahan 2 kali sebelum menyadari bahwa ia membutuhkan pertolongan. Pangeran Harry dari Inggris sesudah 20 tahun pasca kematian ibunya baru mencari pertolongan untuk masalah emosi dukanya, saat kondisinya memberat. Kedua orang tersebut bukanlah orang-orang yang lemah. Jadi gangguan jiwa dapat menyerang siapa saja dan kapan saja.

2. Hanya Terjadi Pada Orang Dewasa

Salah satu kesalahpahaman umum adalah bahwa anak-anak dan remaja tidak dapat mengalami gangguan jiwa karena mereka belum memiliki beban dan masalah. Nyatanya, 1 dari 10 anak dan remaja dapat mengalami penyakit jiwa. Michael Phelps yang disebutkan di atas, sejak kecil tercatat sebagai penyandang Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas atau GPPH (ADHD, attention deficit & hyperactivity disorder), dimana kemudian latihan renangnya yang padat dapat menjadi pengganti bagi konsumsi obatnya.

Pada masa kanak, masalah dalam keluarga, sekolah, penggunaan gadget maupun pergaulan juga sering menjadi sebab atau mempengaruhi timbulnya gangguan jiwa pada anak atau remaja, termasuk yang paling ringan misalnya hanya gangguan belajar atau menyelesaikan tugas. Pastikan anak-anak dan remaja mendapatkan pertolongan yang tepat sejak dini agar kondisi tidak memburuk di kemudian hari.

3. Depresi Berarti Sedih

Kesedihan merupakan reaksi normal kala kita mengalami kegagalan maupun kehilangan dalam hidup, dimana terkadang juga disertai reaksi “depresi”, namun kesedihan atau reaksi “depresi” berbeda dengan gangguan depresi oleh karena umumnya masih dapat diatasi oleh yang bersangkutan atau hanya dengan konseling. Depresi sebagai penyakit ditandai terutama oleh kondisi suasana hati atau mood yang tidak nyaman dalam jangka waktu panjang, kumat-kumatan, tidak mesti ada penyebab sebagai pemicu, dan disertai beberapa gejala lain yang bervariasi, dalam derajat ringan sampai berat.

Penderita gangguan depresi sulit merasa senang atau bersemangat terhadap hal-hal yang biasanya disukai. Ucapan seperti, “Jangan depresi terus dong, keluar yuk senang-senang…,” kepada penderitanya berisiko membuat depresi jadi semakin berat. Depresi bukan pilihan mereka dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan usaha bersenang-senang.

4. Pengidap Gangguan Jiwa Pasti Berbahaya

Banyak yang takut pada pengidap gangguan jiwa —terutama yang jelas terlihat berat, kotor, atau tidak terurus— seakan setiap mereka pasti akan berperilaku kriminal. Namun realitanya penyandang gangguan jiwa tidak lebih agresif atau berbahaya daripada orang lain. Memang tidak dipungkiri beberapa jenis gangguan jiwa dapat menyebabkan si individu berbuat kejahatan, namun dari banyak penelitian dikatahui bahwa tidak ada hubungan langsung anttara gangguan jiwa dengan perilaku kriminal. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di Inggris menyebutkan hanya 3-5% angka kejahatan yang memang dilakukan oleh seseorang yang menyandang gangguan jiwa. Penelitian ini juga menyebutkan orang dengan gangguan jiwa justru lebih sering menjadi korban kejahatan, bahkan sampai 10 kali lipatnya orang yang bukan penderita.

5. Pengidap Gangguan Jiwa Harus Diasingkan atau Dijauhi

Salah satu mitos gangguan jiwa yang banyak dianut masyarakat adalah mereka harus diasingkan. Hal ini seringkali mengakibatkan diskriminasi di lingkungan tempat tinggal, pekerjaan dan layanan kesehatan. Salah satu sebab adanya pemahaman ini mungkin karena anggapan bahwa gangguan jiwa tidak dapat disembuhkan atau dikontrol. Padahal faktanya, cukup banyak kasus gangguan jiwa yang terkontrol (dengan obat dan terapi non-obat) dan penyandangnya dapat beraktifitas relatif normal bahkan berprestasi.

Keyakinan bahwa upaya pertolongan gangguan jiwa adalah sia-sia tidak aneh karena beberapa jenis gangguan jiwa memang sulit disembuhkan secara total (ada gejala sisa), namun bukankah begitu juga halnya dengan penyakit fisik? Bukankah orang dengan tekanan darah tinggi misalnya, tetap mengkonsumsi obat rutin dan menjaga pola makan sehat agar tekanan darahnya tidak memburuk? Hal yang sama juga berlaku untuk penyakit jiwa.

Dengan terapi yang tepat, baik berupa obat-obatan maupun psikoterapi bersama tenaga ahli yang berkompeten, penyandang gangguan jiwa juga dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan gejala penyakitnya dapat dikontrol hingga sangat minimal. Diharapkan dengan terapi rutin serta dukungan keluarga yang terapeutik, penyandang gangguan jiwa mampu dan bersemamangat menjalani hidupnya serupa orang normal.

[/et_pb_text][et_pb_text _builder_version=”4.4.3″]

dr. Kamila Adam, Sp.KJ

Dokter Spesialis Jiwa

 

[/et_pb_text][/et_pb_column][/et_pb_row][et_pb_row _builder_version=”4.4.3″][et_pb_column type=”4_4″ _builder_version=”4.4.3″][et_pb_text _builder_version=”4.4.3″]

Unduh Materi Edukasi

[/et_pb_text][et_pb_gallery gallery_ids=”1352,1353,1354,1355,1356,1357″ posts_number=”10″ show_title_and_caption=”off” show_pagination=”off” _builder_version=”4.4.3″][/et_pb_gallery][/et_pb_column][/et_pb_row][/et_pb_section]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *